Tuesday, May 10, 2011

inflasi indonesia tahun 2003

Inflasi bulan Desember 2003, menurut catatan BPS, terjadi karena kenaikan harga pada semua kelompok barang dan jasa. Kenaikan terbesar terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 2,13 persen, diikuti kelompok sandang (1,67 persen), makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (1,02 persen), kesehatan (0,35 persen), perumahan (0,28 persen), pendidikan, rekreasi, olahraga (0,04 persen), serta transportasi dan komunikasi (0,03 persen).

Dalam kurun waktu 12 bulan tahun 2003, inflasi terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 0,03 persen dan tertinggi bulan November sebesar 1,01 persen. Pada bulan Maret terjadi deflasi 0,23 persen.

Inflasi sebesar 5,06 persen adalah sumbangan kelompok perumahan sebesar 2 persen, kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (1,18 persen), pendidikan, rekreasi, dan olahraga (0,92 persen), sandang (0,56 persen), transportasi dan komunikasi (0,5 persen), serta kesehatan (0,26 persen). Adapun kelompok bahan makanan memberikan andil deflasi 0,36 persen.

Ali Rosidi mengatakan, pemicu terbesar inflasi 2003 adalah kenaikan tarif listrik yang dilakukan tiga kali, ditambah kenaikan bahan bakar minyak dan tarif air minum. Karena itu, listrik menjadi komoditas paling dominan dengan proporsi sumbangan terhadap inflasi sebesar 0,48 persen. Tahun ini pemerintah telah menetapkan tarif listrik tidak naik.

Angkutan dalam kota yang berhubungan dengan kenaikan bahan bakar menyumbang proporsi 0,34 persen dan tarif air minum sebesar 0,12 persen.

"Di sisi lain, kelompok bahan makanan harganya turun. Sepanjang tahun 2003 mengalami deflasi 1,72 persen dan menyumbang deflasi 0,36 persen pada inflasi 2003. Terutama pada komoditas padi dan beras, petaninya paling menderita," ujar Ali.

Petani semakin miskin

Masih rendahnya taraf kesejahteraan petani terlihat dari hasil sementara Sensus Pertanian (ST) 2003 yang dibandingkan dengan ST 1993. Jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar-baik milik sendiri maupun menyewa-meningkat 2,6 persen per tahun, dari 10,8 juta rumah tangga tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga tahun 2003.

Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Jumlah rumah tangga pertanian sendiri tercatat bertambah 2,2 persen per tahun dari 20,8 juta (1993) menjadi 25,4 juta (2003).

"Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia," ujar Choiril.

Namun, kesejahteraan relatif petani bulan Oktober 2003 naik 3,93 persen dari September 2003. Hal ini terlihat dari naiknya indeks nilai tukar petani (NTP), dari 114,78 menjadi 119,29. Secara kumulatif, NTP atau perbandingan indeks harga yang diterima dan dikeluarkan petani Januari-Oktober 2003 naik 6,01 persen. Kenaikan pada Oktober itu karena petani mampu menjual produksinya 2,79 persen lebih tinggi dari bulan sebelumnya. (was)

(Kompas, 3 Januari 2004)

No comments:

Post a Comment