PENGARUH
HUKUM INTERNASIONAL DAN GLOBALISASI EKONOMI
Perkembangan yang mandiri dari perusahaan multinasional, kerap kali
diramalkan adalah perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa kebangsaan,
dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia yang kemudian menjadi hukum internasional
turut mempengaruhi pembangunan hukum nasional dan sistem perekonomian negara
berkembang. Globalisasi ekonomi sebenarnya sudah terjadi sejak lama, masa perdagangan
rempah-rempah, masa tanaman paksa (Cultuur stelsel) dan masa dimana
modal swasta Belanda Zaman Kolonial dengan buruh paksa. Pada ketiga periode
tersebut hasil bumi Indonesia sudah sampai ke Eropah dan Amerika. Sebaliknya
impor tekstil dan barang-barang manufaktur, betapun sederhananya telah
berlangsung lama.
Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang
baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional.
Manakala ekonomi menjadi
terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade
Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional
seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara
regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global
mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan
kerjasamanya ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis,
memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.
Perkembangan dalam teknologi
dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling
bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain,
tetapi juga saling bersaing. Hal ini secara dramatis terutama terlihat dalam
kegiatan perdagangan dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods),
maupun di bidang jasa (trade in services). Saling keterkaitan ini
memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang berlaku. Aturan main
yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang
berkembang dalam sistem GATT/WTO.
Bagaimanapun juga karakteristik
dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada
bidang hukum. Globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi
hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan
internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara
barat dan timur.
Globalisasi di bidang
kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi. Karena negara-negara
maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, maka partner mereka dari
negara-negara berkembang menerima model-model kontrak bisnis internasional
tersebut, bisa karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga
karena posisi tawar yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian
patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise),
perjanjian lisensi, perjanjian keagenan, hampir sama di semua negara.
Konsultan hukum suatu negara
dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu di negara-negara
lain. Lebih lanjut Erman Rajagukguk
mengatakan, persamaan ketentuan-ketentuan hukum berbagai negara bisa juga terjadi
karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan
institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. Undang-undang
Perseroan Terbatas berbagai negara, dari “Civil Law” maupun “Common
Law” berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar
modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain hal karena dana yang mengalir
ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas
negara.
Tuntutan keterbukaan (transparency)
yang semakin besar, berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang
(money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama
internasional.
Dibalik usaha keras menciptakan
globalisasi hukum, masih menurut Erman, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut
akan memberikan hasil yang sama yang di semua tempat. Hal mana dikarenakan
perbedaan politik, ekonomi dan budaya. Hukum itu tidak sama dengan kuda. Orang
tidak akan menamakan keledai atau zebra adalah kuda. Walau bentuknya hampir
sama. Kuda adalah kuda. Hukum tidak demikian. Apa yang disebut hukum itu
tergantung kepada persepsi masyarakatnya.
Friedman, mengatakan bahwa
tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum
masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum
anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan
budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.
Dalam menghadapi hal yang
demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check and balance”
hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan
partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya.
Dalam hal di atas, khususnya
dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement, dua hal yang merupakan
komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law
enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of
law kalau tidak law enforcement yang memadai. Dibidang inilah
negara kita tercinta Indonesia masih tertatih-tatih belajar memahami apa arti rule
of law sebagaimana sering kita kita nyatakan secara fasih.
ECW Wade dan Godfrey Philips dalam
PM Hadjon (1987:81) menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu:
-
The Rule Of Law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang
dalam pandangan tradisi barat lahir dari alam demokrasi.
-
The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum.
-
The Rule of Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus
diperinci oleh peraturan-peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.
Berbagai unsur dari pengertian Rule
of Law tersebut haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan
sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian dan penangguhan salah
satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim.
No comments:
Post a Comment