Tuesday, May 8, 2012

Politik Hukum Ekonomi Syariah



Politik Hukum Ekonomi Syariah

Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi syariah diIndonesia memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yangdengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, padadasarnya mengandung tiga makna, yaitu:
•Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangandengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
•Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaanwujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;
•Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadapajaran agama (paham ateisme).Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaantiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadatmenurut agama dan kepercayaannya itu.
•Kata “menjamin” sebagaimana termaktubdalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapatmemeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya ituSebenarnya, melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam,khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapatdijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupuntidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasional Keharusan tiadanyamateri konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilaike-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya PrinsipKetuhanan Yang Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negaraPerkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengankeluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992.Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagihasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariahmenjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasanoperasionalnya. Dalam UU ini ‘prinsip syariah’ secara definitif terakomodasi.Eksistensi bank syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentangBank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11). Kedua UUtersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system. Bahkan melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telahdikeluarkan kabijakan office chanelling. Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum dan peraturan positif perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai SuratKeputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro PerbankanSyariah di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah.Saat ini ada 2 Rancangan Undang-Undang ekonomi syariah yang akan segera dibahasdan disahkan DPR,yaitu RUU Tentang Perbankan Syariah dan RUU Sukuk (obligasisyariah). Dengan disahkannya UU Perbankan Syariah dan obligasi syariah, akan semakinmeneguhkan dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam politik hukumnasional, dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuanekonomi syariah di Indonesia

sumber: http://www.scribd.com/doc/4685623/politik-hukum-ekonomi-syariah-agustianto

No comments:

Post a Comment