Politik Hukum Ekonomi
Syariah
Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi syariah diIndonesia
memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yangdengan
tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
padadasarnya mengandung tiga makna, yaitu:
•Negara tidak boleh membuat
peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangandengan
dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
•Negara berkewajiban membuat
peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi
pelaksanaanwujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan
pemeluk agama yang memerlukannya;
•Negara berkewajiban membuat
peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan
terhadapajaran agama (paham ateisme).Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945
disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaantiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadatmenurut agama dan kepercayaannya itu.
•Kata “menjamin” sebagaimana termaktubdalam ayat (2) pasal
29 UUD 1945 tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban
secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapatmemeluk agama
dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya ituSebenarnya, melalui ketentuan
pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam,khususnya yang menyangkut
bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapatdijalankan secara sah dan
formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupuntidak langsung, dengan
jalan diadopsi dalam hukum positif nasional Keharusan tiadanyamateri konstitusi
dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilaike-Tuhanan
Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya PrinsipKetuhanan Yang
Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negaraPerkembangan politik
hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengankeluarnya UU No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992.Berdasarkan UU No. 7
Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagihasil. Selebihnya bank
syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis
konvensional.Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Atas
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariahmenjadi cukup
jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasanoperasionalnya.
Dalam UU ini ‘prinsip syariah’ secara definitif
terakomodasi.Eksistensi bank syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya
UU No. 23 Tahun 1999 tentangBank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank
Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip
syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11). Kedua UUtersebut menjadi landasan hukum
bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual
banking system. Bahkan melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telahdikeluarkan kabijakan office
chanelling. Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum dan peraturan positif
perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai SuratKeputusan Dewan
Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro PerbankanSyariah
di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah.Saat ini ada 2 Rancangan
Undang-Undang ekonomi syariah yang akan segera dibahasdan disahkan DPR,yaitu
RUU Tentang Perbankan Syariah dan RUU Sukuk (obligasisyariah). Dengan
disahkannya UU Perbankan Syariah dan obligasi syariah, akan semakinmeneguhkan
dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam politik hukumnasional,
dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuanekonomi
syariah di Indonesia
sumber: http://www.scribd.com/doc/4685623/politik-hukum-ekonomi-syariah-agustianto
No comments:
Post a Comment